Apa itu usyur?
Kata usyur berasal dari bahasa Arab ‘asyra yang berarti sepersepuluh. Umat Islam mengenakan usyur sebagai pajak atau bea cukai atas barang dagangan yang melewati batas negara atau wilayah kekuasaan mereka, terutama yang datang dari darul harbi (wilayah non-Muslim). Dalam konteks perekonomian modern, usyur identik dengan pajak ekspor-impor atau bea cukai.
Baca juga: Wakaf Produktif adalah Solusi Ekonomi Umat yang Berkelanjutan
Usyur mirip dengan bea cukai modern karena negara mengenakan pungutan sepersepuluh (1/10) dari nilai barang dagangan dengan dasar keadilan. Pada masa itu, negara menjadikan usyur sebagai salah satu sumber pendapatan dalam sistem ekonomi Islam. Pungutan ini berbeda dengan zakat maupun kharaj, yaitu pajak tanah yang negara pungut dari lahan pertanian yang ditaklukkan atau digarap oleh penduduk non-Muslim.
Usyur pada Masa Rasulullah dan Umar Bin Khattab
Pada masa Rasulullah SAW, beliau menghapuskan bea masuk bagi para pedagang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan belum memberlakukan usyur secara luas kepada pedagang asing. Namun, Khalifah Umar bin Khattab kemudian mengubah kebijakan tersebut.
Khalifah Umar menerapkan Usyur kepada pedagang yang masuk ke wilayah Islam, dengan kriteria:
- Negara mengenakan usyur sebesar 5% kepada pedagang Ahlu Zhimmah (non-Muslim yang tinggal di negara Islam dengan perjanjian perlindungan) ketika mereka berdagang di wilayah Islam.
- Kepada pedagang Ahlu Harbi (non-Muslim dari luar wilayah Islam), negara menetapkan usyur sebesar 10% sebagai timbal balik atas pajak serupa yang mereka berlakukan pada pedagang Muslim di wilayahnya.
- Sementara itu, negara memberlakukan usyur sebesar 2,5% dari nilai barang dagangan kepada pedagang Muslim.
Kebijakan Usyur dalam Sejarah Perdagangan Islam
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, para peternak lebah di Thaif meminta perlindungan resmi atas sarang lebang mereka. Menanggapi hal itu, Khalifah Umar menetapkan bahwa perlindungan akan diberikan dengan syarat mereka harus membayar usyur.
Kebijakan ini mencerminkan prinsip timbal balik dalam sistem ekonomi Islam. Di mana negara memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganya, sementara warga berkontribusi melalui pembayaran usyur.
Khalifah Umar membedakan tarif usyur madu berdasarkan lokasi produksinya. Beliau mengenakan tarif 1/20 atau 5% untuk madu dari pegunungan dan tarif 1/10 atau 10% untuk madu dari ladang. Perbedaan tarif ini menunjukkan pertimbangan terhadap tingkat kesulitan dan biaya produksi di masing-masing lokasi.
Baca juga: Amalan Agar Segera Diundang Ke Baitullah
Penerapan Usyur dan Bea Cukai Modern di Indonesia
Pada dasarnya, Usyur dan bea cukai modern sama-sama mengambil pertambahan atas barang dagangan dari individu maupun entitas yang melakukan perdagangan antarnegara. Keduanya bertujuan menambah pemasukan negara, menegakkan keadilan, berlaku untuk semua pihak yang berdagang antarnegara, dan melibatkan petugas khusus untuk memungut iuran tersebut.
Namun, dalam penerapannya, umat Islam tetap membedakan antara usyur dan bea cukai modern. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
- Usyur memiliki tarif sebesar 2,5% dari kaum muslim, dan 5% dari kaum Zimmi, dan 10% dari kaum Harbi yang mana jumlah tersebut lebih sedikit di banding tarif bea cukai.
- Umat Islam hanya mengenakan usyur pada barang dagangan luar negeri yang masuk ke wilayah Islam, sementara barang produksi dalam negeri bebas dari pungutan ini. Sebaliknya, negara tetap memungut bea cukai atas barang dagangan dalam negeri.
- Usyur tidak menerima iuran atas barang dagang yang di haramkan. Sedangkan Bea Cukai menerapkan iuran atas barang haram seperti halnya alkohol.
- Usyur menerapkan tarif lebih sedikit kepada umat muslim (bukan usyur penuh atau sama dengan zakat penghasilan). Sedangkan Bea Cukai tidak memberikan hak istimewa pada kaum manapun.
- Usyur memberikan batas minimal barang yang dikenakan sebesar 200 dirham.
- Penerapan usyur bertujuan semata-mata untuk menambah pemasukan negara sedangkan Bea Cukai selain untuk menambah pemasukan negara, juga sebagai alternatif untuk mengurangi produksi barang-barang yang berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Baca juga: Kisah Abdurrahman Bin Auf, Saudagar Kaya dan Taat Ibadah
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab mengalokasikan pendapatan usyur untuk dana pensiun, bantuan, administrasi, dan militer. Beliau juga memperkuat kebijakan fiskal dengan mendirikan baitul maal, lembaga hisbah, serta lembaga lain guna menjaga stabilitas ekonomi Islam.