Kisah Aris Widayanti dan Keripik Tempe Benguk, Pengukir Jejak Keberanian Kecil di Hari Pahlawan

Kisah Aris Widayanti dan Keripik Tempe Benguk, Pengukir Jejak Keberanian Kecil di Hari Pahlawan

Hari pahlawan yang jatuh pada 10 November selalu hadir seperti ketukan halus yang mengingatkan Indonesia pada keberanian tak kenal takut. Hari Pahlawan bukan sekadar tanggal, melainkan ruang hening untuk mengenang mereka yang mempertaruhkan hidup dalam pertempuran Surabaya 1945. Meski kemerdekaan telah diproklamasikan, badai belum benar–benar reda. Rakyat kembali mengangkat tekad untuk mempertahankan tanah air.

Baca juga: Tempe Benguk dari Kulon Progo, Langkah Inklusif Menuju Ketahanan Pangan Indonesia 

Penghormatan kepada para pejuang kemudian dirapikan dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Sejak itu, setiap tahun bangsa menyusun upacara, ziarah, dan berbagai kegiatan yang menyalakan ulang nilai perjuangan. Namun esensi pahlawan tak pernah berhenti pada monumen atau seremoni. Ia tumbuh di lorong kehidupan sehari–hari, pada orang-orang yang menolak menyerah, bekerja dengan ketekunan, dan menghidupkan harapan di sekelilingnya. 

Salah satu nyala itu ditemukan di sebuah sudut Kaliagung, tempat BSI Maslahat menjalankan program pemberdayaan untuk Kelompok Disabilitas Kalurahan Kaliagung Santika (KDK Santika). Program ini dirancang untuk membuka jalan kemandirian ekonomi, meningkatkan kapasitas, dan memperkuat harga diri teman-teman difabel. Di tengah upaya itu, muncul sosok yang langkahnya mungkin tenang, tetapi pengaruhnya mengalir jauh: Aris Widayanti. 

Menyulam Ide Menjadi Peluang 

Aris bukan pencari panggung. Ia lebih seperti penjaga benih yang sabar menunggu tumbuhnya tunas. Kegemarannya melakukan riset kuliner membawanya bertemu koro benguk, tanaman yang di daerahnya tumbuh berlimpah tetapi jarang diolah. Dari kegelisahan akan potensi yang dibiarkan tidur, lahirlah gagasan membuat keripik tempe benguk, yang kemudian diberi nama Mucuna Chips. 

Kisah Aris Widayanti dan Keripik Tempe Benguk, Pengukir Jejak Keberanian Kecil di Hari Pahlawan

Prosesnya mirip menata kepingan puzzle. Ia bereksperimen, mencoba rasa, menimbang takaran, lalu merapikan resep hingga cukup matang untuk dibagikan kepada kelompok difabel di KDK Santika. Aris mengaku idenya sederhana saja, tetapi tidak dengan niatnya. Ia ingin Kaliagung memiliki produk lokal yang benar-benar berakar dari tanahnya, sesuatu yang bisa menjadi identitas, dan bukan sekadar komoditas. 

“Di awali dengan yang belum sempurna,” tutur Aris. “Tapi teman-teman difabel belajar, mencoba, lalu memperbaiki. Sekarang, satu takaran menghasilkan rasa yang nyaris sama setiap hari. Itu luar biasa.” 

Menemani Langkah Pelan yang Tidak Mudah 

Setiap proses pemberdayaan selalu memerlukan kesabaran, terlebih ketika menyentuh kelompok yang sering kali berada di ruang sosial yang rapuh. Aris memahami itu. Ia melihat bagaimana awalnya teman-teman difabel ragu menyentuh bahan dan memproduksinya menjadi produk yang matang. 

Baca juga: Memaknai Hari Tani Nasional Melalui Kisah Sukses Transformasi Petani Bawang Merah Bersama BSI Maslahat 

Aris tidak letih untuk duduk bersama para difabel, mengajari perlahan, membiarkan tangan–tangan mereka membentuk keberaniannya sendiri. Dari latihan harian yang tenang, tumbuh keyakinan baru. Ada hari-hari ketika mereka berlatih bersama. Pada akhirnya, Aris melihat mereka sudah cukup percaya diri untuk berjalan tanpa dituntun, dan ia pun melepas satu demi satu peran yang sebelumnya ia pegang. 

Arus juga terus berjaga. Ia menjadi penunjuk arah setiap kali kelompok difabel mendapatkan tawaran kerja sama atau undangan kegiatan. Hadirnya Aris bukan hanya sebagai pendamping produksi, tetapi juga sebagai penjaga integritas dan martabat. Pengalaman hidup mengajarkannya satu hal, mereka yang bekerja dengan hati adalah yang paling sering sakit hati. 

Pahlawan yang Tidak Meminta Gelar 

Jika di medan Surabaya para pahlawan mengangkat senjata, di Kaliagung para pemberdaya mengangkat kepercayaan diri dan peluang hidup. Aris tidak bertempur, tetapi ia menggerakkan perubahan. Ia tidak memproklamasikan keberanian, tetapi ia menularkannya pada orang-orang yang sering dianggap tak punya panggung. Hari Pahlawan bukan meminta kita mencari sosok besar. Ia mengajak melihat siapa saja yang menyalakan harapan di lingkungannya, sekecil apa pun bentuknya. 

Lewat Mucuna Chips dan pendampingannya bagi teman-teman difabel, Aris Widayanti mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak hanya dipertahankan di medan perang, tetapi juga di meja kerja kecil tempat seseorang menemukan kembali harga dirinya. 

Dalam langkah-langkah sunyi seperti itulah pahlawan masa kini tumbuh, menguatkan Indonesia dengan cara yang mungkin tidak terdengar lantang, tetapi terasa sampai jauh. 

Baca juga: Bangkit dari Keterpurukan, Kisah Inspirasi Penerima Manfaat Program Ibu Tangguh BSI Maslahat